Tak Ada Cerita untuk Para Pencerita


tak berjudul

ada rindu, tersisih dari hujan Bulan Januari
menghujam kuat di antara gedung baru kota Yogyakarta
angin, air, dan gemuruh guruh
tak pernah berhenti memuja setiap daun tumbuh

sepotong pagi yang sendiri
melebur  dalam secangkir teh manis
merapalnya bagi doa-doa
begitupun embun, tak pernah tertinggal di helai daun

bunga-bunga mekar menjemput belukar
dipetik satu, oleh senja yang tenggelam
membaginya pada senyap yang menyelinap

mengejamu,


sebuah kata tak pernah terganti

2016

Jelek ya puisinya?
Kata Mas Hasta, Beliau adalah orang yang sangat pro di bidang tulis menulis puisi, bahwa cara menulis puisi yang baik itu adalah dengan menulis puisi yang jelek terlebih dulu. Jadi wajarlah kalau puisiku jelek. Hehe..
Puisi ini kutulis waktu mengikuti #kampusfiksi kemarin. Gak semuanya sih, hanya sebait saja, lainnya tak kerjain di sebuah istana yang bayarnya sebulan sekali.
Dalam puisi ini, ku hanya ingin berterimaksih kepada panitia, teman-teman - bukan teman ding, sahabat, keluarga tepatnya – peserta, alumni, pemateri, #kampusfiksi, Diva Press, senja, malam, siang, semuanya deh. Kalau Pak Edi pernah bilang bahwa ada sesuatu diatasnya bagus, maka yang ingin kuungkapkan pada puisi ini adalah di atas terimakasih.
Dua hari tiga malam yang mungkin akan terlupakan membuat kami sebagai keluarga baru (Jadi, gak perlu ngadain acara pernikahan buat bikin keluarga baru). Dan semoga, kekeluargaan ini tak pernah hilang di masing-masing hati kami. Tumbuh besar seiring berjalannya waktu.
Tak ada yang lain lagi yang bisa kuungkapkan selain itu, kecuali maaf yang tak pernah luput dari setiap kata, karsa, dan rasa. Semoga Tuhan mengampuni semua kesalahan kita – berlaku untuk yang baca juga lho.
Terimakasih dan maaf, cukup itu saja. Biar sebagian dari puisi ini hanya aku dan Tuhan yang tahu – tak menutup kemungkinan pembaca juga tahu. Suwun!
Share: